Seiring
lajunya kapal yang kehilangan arah angin dan tak tahu kemana akan berlabuh.
Seraya suara lengkingan seseorang yang tersesat di sebuah pulau dan tahu kepada
siapa akan minta pertolongan. Dan seperti seekor semut yang meronta hendak
keluar dari injakan kaki sang gajah. Seperti itu pula aku dalam belenggu baruku
ini. Aku terjebak dalam perasaan yang kupaksakan sendiri. Perasaan yang dulu ku
ciptakan dan ku desak dalam bayangan
seorang Adam yang ternyata tak sehati denganku. Perasaan itu dulu ku namakan
cinta.
***
Aku adalah remaja yang biasa-biasa saja. Tidak peduli
dengan perkembangan mode, tidak terlalu up
to date dan tidak pernah pusing dengan semua itu. Tapi setidaknya aku
adalah remaja yang peka terhadap perkembangan asmara. Sejak dibangku Sekolah
Menengah Pertama aku ingin sekali punya pacar. Tapi kuurungkan keinginanku
karena ku rasa aku tidak terlalu menarik dijadikan pacar oleh seorang laki-laki.
Meski ingin sekali punya pacar, tapi aku tak terlalu memusingkannya. Aku
beruntung punya sikap cuek, setidaknya sikapku itu mampu membuatku menembus
batas-batas rasa iriku pada teman-teman yang selalu mojok dengan pacarnya saat pulang sekolah.
Semasa sekolah aku termasuk orang yang disenangi oleh
teman-temanku. Itu bukan karena aku adalah siswi yang pintar atau juara kelas,
tapi karena kata teman-teman aku tergolong orang yang ramah dan supel. Ditambah
aku giat sekali mengikuti organisasi dan ekstrakurikuler di sekolah, dan itu
pula yang mengantarkan aku menjadi ketua OSIS. Mungkin itu termasuk factor
kenapa aku mempunyai banyak teman di sekolah. Sibuk dengan segala aktivitas
disekolah membuatku lupa dengan keinginan ku dulu, aku ingin punya pacar. Ana
teman sebangku dikelaspun selalu sibuk dengan keseharianku tanpa seorang pacar.
Kerap kali Ana menggodaku dengan mengajakku berkenalan dengan teman
laki-lakinya. Tapi aku tidak mau mendapat pasangan atas rekomendasi dari orang
lain. Aku ingin pacarku adalah seorang laki-laki yang memang menginginkanku
jadi pacarnya.
Lepas dari Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) aku melanjutkan pedidikan di Perguruan Tinggi. Satu semester menjalani hidup sebagai mahasiswa membuatku senang dengan segala aktivitas dan organisasi yang ku geluti. Sampai suatu saat aku didekati oleh seorang laki-laki, dan untuk pertama kalinya aku membuka diri untuk laki-laki yang mendekatiku, meski sebenarnya hal ini yang tunggu dari dulu.
Adam namanya. Kami berkenalan lewat dunia maya. Dia
mengenalku dari profil yang kutulis di dunia maya itu. Sebenarnya aku tidak
begitu tertarik berkenalan lewat dunia yang separuh nyata itu, namun berbincang
dengan Adam membuatku nyaman walaupun aku sendiri tak tahu adam itu nyata atau
tidak. Cukup lama ku jalin komunikasi dengannya. Sampai akhirnya kami bertukar
nomor handphone. Awalnya aku sempat keberatan, namun kupikir ini adalah pertama
kali aku menjalani diriku sebagai remaja seutuhnya dan mulai membuka diri pada
lawan jenisku.
Pertemananku dengan Adam ternyata
ditanggapi oleh Ana teman sekelasku dulu. Tiba-tiba Ana mengirim sebuah pesan
singkat padaku.
“Apa kabar Dina?”
“Apa kabar Dina?”
“Kabar baik, lama tidak bertemu. Kamu
apa kabar?”
“Aku baik2 saja, kamu mengenal Adam?”
“Adam yang mana?”
“Aku liat kalian sering bertukar komentar
di FB, jadi kupikir kamu mengenalnya.”
“ooo…, Adam hanya teman di FB saja,
aku tidak begitu mengenalnya.”
Pesanku tidak dibalas lagi oleh Ana. Sempat aku
bertanya kenapa Ana menanyakan hal itu, tapi tidak terlalu kupusingkan, mungkin
Ana juga mengenal Adam, batinku.
Beberapa
hari setelah aku bertukar nomor handphone, Adam menghubungiku. Kegiatan
perkuliahan saat itu baru saja selesai. Ponselku bergetar, ada nomor baru yang
memanggilku dari seberang sana.
“Hallo,
Assalamualaikum.” Jawabku
“Walaikumsalam Dina,
ini Abang”
“Abang? Abang yang
mana?”
“Ini Adam Dina.”
Pembicaraan kami lewat telpon yang pertama kali itu cukup menyenangkan, Adam
ternyata juga orang yang sangat menyenangkan saat berbicara. Sejak itu Adam
mulai sering menghubungiku, mengirim pesan singkat hanya untuk sekedar
menanyakan aku sudah makan, atau bertanya sedang apa atau sedang dimana. Lantas
aku begitu merasa mendapat perhatian lebih dari seorang laki-laki. Meski aku
belum pernah bertemu langsung dengan lelaki bernama Adam ini.
Walaupun
tidak pernah bertemu secara langsung, namun tak menjadi halangan bagi kami
untuk selalu berkomunikasi. Dan sekian lama berteman aku baru tahu jarak daerah
tempat tinggalku dengan Adam ternyata tidak begitu jauh. Sampai hari itu aku
berulang tahun, Adam mengucapkan selamat dipenghujung hari ulang tahunku. Tiga
hari setelahnya Adam menyatakan sesuatu yang membatku terkejut. Adam menyatakan
perasaannya kepadaku. Dia ingin aku jadi pacarnya. Lantas aku tak langsung
percaya dengan perkataannya, bertemupun belum pernah, namun sudah langsung
menyatakan perasaan. Aku sempat ragu dengan pernyataannya. Namun Adam
meyakinkanku, dan ia mampu membuatku luluh dengan rasa yang diungkapkannya
kepadaku.
Aku
menjalani hubungan ini dengan Adam. Aku berusaha menumbuhkan rasa cinta ini
meski masih dalam tahap belajar. Aku juga ingin tahu bagaimana rasanya
mempunyai kekasih. Dan ku lihat adam juga mencintaiku. Mempunyai pacar seperti
Adam membuatku mulai berpikir untuk merubah sikapku yang tak acuh dengan segala
hal. Aku mulai memperhatikan penampilan, mulai peka dengan kebersihan diri yang
dulu sempat ku abaikan. Beberapa minggu setelah jadian, kami bertemu. Adam
begitu nyata bagiku saat itu. Dia lelaki bertubuh tegap dan tinggi sejengkal
dariku. Hidungnya kecil dan mancung, matanya seperti mata elang, menusuk hatiku
dengan lembut saat pertama kali dia menatapku.
Aku
bertemu dengannya, menjabat tangannya dan dia mengusap kepalaku dengan
tangannya. Sangat lembut usapannya, tidak pernah kulupa.
“Apa kabar dek?” katanya.
“Baik.”
Perkenalan singkat itu kami lanjutkan dengan
cengkrama dan cerita-cerita kecil yang mampu menghadirkan kehangatan dan
keceriaan semasa itu.
Pertemuan
pada hari itu. adalah awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya. Adam begitu
memperhatikanku. Aku nyaman bersamanya. Dia takkan membiarkan aku sendiri atau
pulang sendirian saat malam hari, pasti diusahakannya untuk menjemputku dimana
aku berada, tak peduli itu tengah malam atau sedang badai sekalipun.
Suatu
saat aku bertemu dengan Ana. Ana begitu riang melihatku, dulu sewaktu sekolah
kami memang cukup akrab karena selalu duduk berdua saat belajar.
“Dina…., Apa kabar.
Aku merindukanmu.” Ana memelukku.
“Baik Ana. Kamu
sendiri bagaimana?” selaku sambil melepas pelukannya.
“Baik. Bagaimana
hubungan kamu dengan Adam? Masih baik-baik saja kan?”
Aku terkejut dengan pertanyaan Ana. Tahu dari
mana Ia aku menjalin hubungan dengan Adam. Sekalipun aku tak pernah memberi
tahunya.
“Kamu tahu dari mana
Ana? Kamu kenal Adam?” tanyaku penasaran.
“Sudahlah jangan
bohong, Adam itu teman lamaku. Tenang saja dia sudah ku anggap seperti kakakku
sendiri. Jaga Adam baik-baik ya Din.”
Pertemuanku dengan Ana waktu itu cukup
membuahkan pertanyaan bagiku. Berarti Adam juga mengenal Ana. Kenapa Adam tidak
pernah cerita padaku? Berarti Adam juga sudah menceritakan tentang hubungan
kami pada Ana. Hatiku tak cukup tenang, aku tanyakan hal ini pada Adam. Adam
hanya menjawab datar petanyaanku, dia mengatakan padaku tidak usah dipikirkan
dan membenarkan dia memang mengenal Ana, tapi itu dulu katanya. Pertemuan
selanjutnya dengan Ana, pasti dia selalu menanyakan keadaan Adam padaku. Aku
rasa ini wajar, tapi jujur aku sangat terusik. Tak jarang aku sering meributkan
hal ini bersama Adam. Setiap kali aku bertanya tentang Ana, Adam selalu menjadi
dingin padaku.
Aku
putuskan untuk mengikuti saran Adam, aku takkan memusingkan masalah kecil ini.
Aku masih menyayangi Adam. Aku mulai berani merangkai mimpi dengannya.
Perhatian Adam padaku juga tidak berkurang. Meski Adam terasa semakin sibuk,
aku mencoba memahaminya. Aku mencintainya.
***
Tiga
tahun sudah aku berpacaran dengan Adam. Lelaki yang amat kucintai itu dua hari
lagi akan berulang tahun yang ke-25. Aku bingung mau memberi hadiah apa
padanya. Aku ingin sesuatu yang ku hadiahkan kali ini berkesan dihatinya.
Terlintas dipikiranku untuk membuatkannya bantal kecil berbentuk gantungan
kunci bertuliskan namaku dan namanya, disisi belakang bantal itu ku tuliskan “I
Luv U”. Tak sabar aku menunggu hari ulang tahunnya dan segera memberikan hadiah
ini pada Adam. Hingga hari yang ku tunggu itu tiba. Aku merayakan ulang tahun
Adam di tepi sungai yang bersebelahan dengan jembatan. Jika malam hari jembatan
itu akan bersinar dengan lampunya yang temaram ditambah cahaya-cahaya mewah
yang dipantulkan dari mobil yang berlalu lalang, romantis sekali. Tempat itu
tempat favorit kami.
“Ini
apa?” Tanya adam saat ku berikan sesuatu berbungkus kertas kado.
“Buka
saja, nanti juga tahu apa isinya.” Sanggahku.
Adam tersenyum saat membuka kado yang
kuhadiahkan untuknya. Dia mengucapkan terimakasih padaku. Aku menyalami
tangannya. Mendekapkan punggung tangannya pada keningku. Adam kembali mengusap
lembut kepalaku dengan tangannya. Dia berjanji akan membawaku kerumahnya dan
mengenalkan aku pada ibu yang amat disayanginya. Aku begitu menyayanginya.
Sehari
setelah ulang tahun Adam, Ana kembali mengirimiku pesan singkat. Lagi-lagi dia
menanyakan hubunganku dengan Adam. Ku bilang baik-baik saja. Sedikit basa-basi
ku beritahu bahwa Adam ulang tahun. Dan kusuruh Ana untuk memberikan ucapan
selamat, berhubung Ana kenal dengan Adam.
Beberapa
hari setelahnya Adam menelponku. Sebelumnya kami memang sempat ribut kecil
karena Ada perempuan yang mengganggu Adam dan aku tak suka hal itu. Adam
memutuskan hubungan kami.
“Dina,
apa yang kamu bicarakan dengan Ana?” Tanya Adam.
“Ana?
Dia sudah menghubungimu? Aku Cuma bilang kamu ulang tahun, dan kusuruh tuk
ucapkan selamat.” Balasku.
“Dina,
aku mencintai Ana. Aku mengenalnya jauh sebelum aku mengenalmu. Ana adalah
alasanku untuk mau memacarimu. Ana ingin kamu bahagia karena kamu mencintaiku.
Dia mengorbankan perasaannya demi kamu Dina. Aku tak bisa melupakan Ana, sampai
sekarang aku masih mencintainya.” Tutur Adam.
Aku menangis. Adam menutup telponnya. Tak
kusangka lelaki yang begitu kucintai tidak mencintaiku. Kepura-puraannya selama
ini tak kusadari. Aku menyesali Ana dengan perbuatannya. Sampai sejauh ini aku
telah menjadi korban belas kasihannya. Korban belas kasihan mereka.
Berkali-kali
Ana memberi pengertian padaku. Berkali-kali itu aku coba memahami semuanya. Aku
terima semua ini dengan hati selapang-lapangnya. Tak ada yang tak sakit ku
rasakan saat itu. Hatiku telah disakiti Adam, tapi dia adalah lelaki dengan
kesetiaan pada gadis yang dicintainya. Tak kusangka ia mau menahan rindunya
pada Ana dan menjalani keterpaksaan bersamaku. Berat rasanya aku mengangkat
kepala. Aku malu pada dunia dengan segala yang telah hilang dalam hatiku.
Segenap kepercayaanku lenyap, aku merasakan segalanya hambar. Derita ini sedang
bersenandung dalam hatiku.
Kini
aku dengan belenggu baruku. Aku harus berusaha mengobati luka batin yang amat
perih ini. Kini aku sendiri dalam pulau yang tiada berpenghuni, aku hendak
menolong semut yang terinjak oleh kaki gajah, dan menyeru pada ombak agar
mengantarkan kapal yang tersesat ditengah laut dan menemukan tempat berlabuh.
Kini aku berdiri dengan kakiku sendiri,
melangkah tanpa bayangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar