Selasa, 30 Oktober 2012

Cinta Tak Berjudul


Seiring lajunya kapal yang kehilangan arah angin dan tak tahu kemana akan berlabuh. Seraya suara lengkingan seseorang yang tersesat di sebuah pulau dan tahu kepada siapa akan minta pertolongan. Dan seperti seekor semut yang meronta hendak keluar dari injakan kaki sang gajah. Seperti itu pula aku dalam belenggu baruku ini. Aku terjebak dalam perasaan yang kupaksakan sendiri. Perasaan yang dulu ku ciptakan dan  ku desak dalam bayangan seorang Adam yang ternyata tak sehati denganku. Perasaan itu dulu ku namakan cinta.
***
            Aku adalah remaja yang biasa-biasa saja. Tidak peduli dengan perkembangan mode, tidak terlalu up to date dan tidak pernah pusing dengan semua itu. Tapi setidaknya aku adalah remaja yang peka terhadap perkembangan asmara. Sejak dibangku Sekolah Menengah Pertama aku ingin sekali punya pacar. Tapi kuurungkan keinginanku karena ku rasa aku tidak terlalu menarik dijadikan pacar oleh seorang laki-laki. Meski ingin sekali punya pacar, tapi aku tak terlalu memusingkannya. Aku beruntung punya sikap cuek, setidaknya sikapku itu mampu membuatku menembus batas-batas rasa iriku pada teman-teman yang selalu mojok dengan pacarnya saat pulang sekolah.
            Semasa sekolah aku termasuk orang yang disenangi oleh teman-temanku. Itu bukan karena aku adalah siswi yang pintar atau juara kelas, tapi karena kata teman-teman aku tergolong orang yang ramah dan supel. Ditambah aku giat sekali mengikuti organisasi dan ekstrakurikuler di sekolah, dan itu pula yang mengantarkan aku menjadi ketua OSIS. Mungkin itu termasuk factor kenapa aku mempunyai banyak teman di sekolah. Sibuk dengan segala aktivitas disekolah membuatku lupa dengan keinginan ku dulu, aku ingin punya pacar. Ana teman sebangku dikelaspun selalu sibuk dengan keseharianku tanpa seorang pacar. Kerap kali Ana menggodaku dengan mengajakku berkenalan dengan teman laki-lakinya. Tapi aku tidak mau mendapat pasangan atas rekomendasi dari orang lain. Aku ingin pacarku adalah seorang laki-laki yang memang menginginkanku jadi pacarnya.
          
  Lepas dari Sekolah Mengengah Kejuruan (SMK) aku melanjutkan pedidikan di Perguruan Tinggi. Satu semester menjalani hidup sebagai mahasiswa membuatku senang dengan segala aktivitas dan organisasi yang ku geluti. Sampai suatu saat aku didekati oleh seorang laki-laki, dan untuk pertama kalinya aku membuka diri untuk laki-laki yang mendekatiku, meski sebenarnya hal ini yang tunggu dari dulu.
            Adam namanya. Kami berkenalan lewat dunia maya. Dia mengenalku dari profil yang kutulis di dunia maya itu. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik berkenalan lewat dunia yang separuh nyata itu, namun berbincang dengan Adam membuatku nyaman walaupun aku sendiri tak tahu adam itu nyata atau tidak. Cukup lama ku jalin komunikasi dengannya. Sampai akhirnya kami bertukar nomor handphone. Awalnya aku sempat keberatan, namun kupikir ini adalah pertama kali aku menjalani diriku sebagai remaja seutuhnya dan mulai membuka diri pada lawan jenisku.
            Pertemananku dengan Adam ternyata ditanggapi oleh Ana teman sekelasku dulu. Tiba-tiba Ana mengirim sebuah pesan singkat padaku.
           
“Apa kabar Dina?”
          “Kabar baik, lama tidak bertemu. Kamu apa kabar?”
          “Aku baik2 saja, kamu mengenal Adam?”
          “Adam yang mana?”
          “Aku liat kalian sering bertukar komentar di FB, jadi kupikir kamu mengenalnya.”
          “ooo…, Adam hanya teman di FB saja, aku tidak begitu mengenalnya.”
Pesanku tidak dibalas lagi oleh Ana. Sempat aku bertanya kenapa Ana menanyakan hal itu, tapi tidak terlalu kupusingkan, mungkin Ana juga mengenal Adam, batinku.
            Beberapa hari setelah aku bertukar nomor handphone, Adam menghubungiku. Kegiatan perkuliahan saat itu baru saja selesai. Ponselku bergetar, ada nomor baru yang memanggilku dari seberang sana.
            “Hallo, Assalamualaikum.” Jawabku
            “Walaikumsalam Dina, ini Abang”
            “Abang? Abang yang mana?”
            “Ini Adam Dina.”
Pembicaraan kami lewat telpon yang  pertama kali itu cukup menyenangkan, Adam ternyata juga orang yang sangat menyenangkan saat berbicara. Sejak itu Adam mulai sering menghubungiku, mengirim pesan singkat hanya untuk sekedar menanyakan aku sudah makan, atau bertanya sedang apa atau sedang dimana. Lantas aku begitu merasa mendapat perhatian lebih dari seorang laki-laki. Meski aku belum pernah bertemu langsung dengan lelaki bernama Adam ini.       
            Walaupun tidak pernah bertemu secara langsung, namun tak menjadi halangan bagi kami untuk selalu berkomunikasi. Dan sekian lama berteman aku baru tahu jarak daerah tempat tinggalku dengan Adam ternyata tidak begitu jauh. Sampai hari itu aku berulang tahun, Adam mengucapkan selamat dipenghujung hari ulang tahunku. Tiga hari setelahnya Adam menyatakan sesuatu yang membatku terkejut. Adam menyatakan perasaannya kepadaku. Dia ingin aku jadi pacarnya. Lantas aku tak langsung percaya dengan perkataannya, bertemupun belum pernah, namun sudah langsung menyatakan perasaan. Aku sempat ragu dengan pernyataannya. Namun Adam meyakinkanku, dan ia mampu membuatku luluh dengan rasa yang diungkapkannya kepadaku.
            Aku menjalani hubungan ini dengan Adam. Aku berusaha menumbuhkan rasa cinta ini meski masih dalam tahap belajar. Aku juga ingin tahu bagaimana rasanya mempunyai kekasih. Dan ku lihat adam juga mencintaiku. Mempunyai pacar seperti Adam membuatku mulai berpikir untuk merubah sikapku yang tak acuh dengan segala hal. Aku mulai memperhatikan penampilan, mulai peka dengan kebersihan diri yang dulu sempat ku abaikan. Beberapa minggu setelah jadian, kami bertemu. Adam begitu nyata bagiku saat itu. Dia lelaki bertubuh tegap dan tinggi sejengkal dariku. Hidungnya kecil dan mancung, matanya seperti mata elang, menusuk hatiku dengan lembut saat pertama kali dia menatapku.
            Aku bertemu dengannya, menjabat tangannya dan dia mengusap kepalaku dengan tangannya. Sangat lembut usapannya, tidak pernah kulupa.
            “Apa kabar dek?” katanya.
            “Baik.”
Perkenalan singkat itu kami lanjutkan dengan cengkrama dan cerita-cerita kecil yang mampu menghadirkan kehangatan dan keceriaan semasa itu.
            Pertemuan pada hari itu. adalah awal dari pertemuan-pertemuan selanjutnya. Adam begitu memperhatikanku. Aku nyaman bersamanya. Dia takkan membiarkan aku sendiri atau pulang sendirian saat malam hari, pasti diusahakannya untuk menjemputku dimana aku berada, tak peduli itu tengah malam atau sedang badai sekalipun.
            Suatu saat aku bertemu dengan Ana. Ana begitu riang melihatku, dulu sewaktu sekolah kami memang cukup akrab karena selalu duduk berdua saat belajar.
            “Dina…., Apa kabar. Aku merindukanmu.” Ana memelukku.
            “Baik Ana. Kamu sendiri bagaimana?” selaku sambil melepas pelukannya.
            “Baik. Bagaimana hubungan kamu dengan Adam? Masih baik-baik saja kan?”
Aku terkejut dengan pertanyaan Ana. Tahu dari mana Ia aku menjalin hubungan dengan Adam. Sekalipun aku tak pernah memberi tahunya.
            “Kamu tahu dari mana Ana? Kamu kenal Adam?” tanyaku penasaran.
            “Sudahlah jangan bohong, Adam itu teman lamaku. Tenang saja dia sudah ku anggap seperti kakakku sendiri. Jaga Adam baik-baik ya Din.”
Pertemuanku dengan Ana waktu itu cukup membuahkan pertanyaan bagiku. Berarti Adam juga mengenal Ana. Kenapa Adam tidak pernah cerita padaku? Berarti Adam juga sudah menceritakan tentang hubungan kami pada Ana. Hatiku tak cukup tenang, aku tanyakan hal ini pada Adam. Adam hanya menjawab datar petanyaanku, dia mengatakan padaku tidak usah dipikirkan dan membenarkan dia memang mengenal Ana, tapi itu dulu katanya. Pertemuan selanjutnya dengan Ana, pasti dia selalu menanyakan keadaan Adam padaku. Aku rasa ini wajar, tapi jujur aku sangat terusik. Tak jarang aku sering meributkan hal ini bersama Adam. Setiap kali aku bertanya tentang Ana, Adam selalu menjadi dingin padaku.
            Aku putuskan untuk mengikuti saran Adam, aku takkan memusingkan masalah kecil ini. Aku masih menyayangi Adam. Aku mulai berani merangkai mimpi dengannya. Perhatian Adam padaku juga tidak berkurang. Meski Adam terasa semakin sibuk, aku mencoba memahaminya. Aku mencintainya.
***
            Tiga tahun sudah aku berpacaran dengan Adam. Lelaki yang amat kucintai itu dua hari lagi akan berulang tahun yang ke-25. Aku bingung mau memberi hadiah apa padanya. Aku ingin sesuatu yang ku hadiahkan kali ini berkesan dihatinya. Terlintas dipikiranku untuk membuatkannya bantal kecil berbentuk gantungan kunci bertuliskan namaku dan namanya, disisi belakang bantal itu ku tuliskan “I Luv U”. Tak sabar aku menunggu hari ulang tahunnya dan segera memberikan hadiah ini pada Adam. Hingga hari yang ku tunggu itu tiba. Aku merayakan ulang tahun Adam di tepi sungai yang bersebelahan dengan jembatan. Jika malam hari jembatan itu akan bersinar dengan lampunya yang temaram ditambah cahaya-cahaya mewah yang dipantulkan dari mobil yang berlalu lalang, romantis sekali. Tempat itu tempat favorit kami.
            “Ini apa?” Tanya adam saat ku berikan sesuatu berbungkus kertas kado.
            “Buka saja, nanti juga tahu apa isinya.” Sanggahku.
Adam tersenyum saat membuka kado yang kuhadiahkan untuknya. Dia mengucapkan terimakasih padaku. Aku menyalami tangannya. Mendekapkan punggung tangannya pada keningku. Adam kembali mengusap lembut kepalaku dengan tangannya. Dia berjanji akan membawaku kerumahnya dan mengenalkan aku pada ibu yang amat disayanginya. Aku begitu menyayanginya.
            Sehari setelah ulang tahun Adam, Ana kembali mengirimiku pesan singkat. Lagi-lagi dia menanyakan hubunganku dengan Adam. Ku bilang baik-baik saja. Sedikit basa-basi ku beritahu bahwa Adam ulang tahun. Dan kusuruh Ana untuk memberikan ucapan selamat, berhubung Ana kenal dengan Adam.
            Beberapa hari setelahnya Adam menelponku. Sebelumnya kami memang sempat ribut kecil karena Ada perempuan yang mengganggu Adam dan aku tak suka hal itu. Adam memutuskan hubungan kami.
            “Dina, apa yang kamu bicarakan dengan Ana?” Tanya Adam.
            “Ana? Dia sudah menghubungimu? Aku Cuma bilang kamu ulang tahun, dan kusuruh tuk ucapkan selamat.” Balasku. 
            “Dina, aku mencintai Ana. Aku mengenalnya jauh sebelum aku mengenalmu. Ana adalah alasanku untuk mau memacarimu. Ana ingin kamu bahagia karena kamu mencintaiku. Dia mengorbankan perasaannya demi kamu Dina. Aku tak bisa melupakan Ana, sampai sekarang aku masih mencintainya.” Tutur Adam.
Aku menangis. Adam menutup telponnya. Tak kusangka lelaki yang begitu kucintai tidak mencintaiku. Kepura-puraannya selama ini tak kusadari. Aku menyesali Ana dengan perbuatannya. Sampai sejauh ini aku telah menjadi korban belas kasihannya. Korban belas kasihan mereka.
            Berkali-kali Ana memberi pengertian padaku. Berkali-kali itu aku coba memahami semuanya. Aku terima semua ini dengan hati selapang-lapangnya. Tak ada yang tak sakit ku rasakan saat itu. Hatiku telah disakiti Adam, tapi dia adalah lelaki dengan kesetiaan pada gadis yang dicintainya. Tak kusangka ia mau menahan rindunya pada Ana dan menjalani keterpaksaan bersamaku. Berat rasanya aku mengangkat kepala. Aku malu pada dunia dengan segala yang telah hilang dalam hatiku. Segenap kepercayaanku lenyap, aku merasakan segalanya hambar. Derita ini sedang bersenandung dalam hatiku.
            Kini aku dengan belenggu baruku. Aku harus berusaha mengobati luka batin yang amat perih ini. Kini aku sendiri dalam pulau yang tiada berpenghuni, aku hendak menolong semut yang terinjak oleh kaki gajah, dan menyeru pada ombak agar mengantarkan kapal yang tersesat ditengah laut dan menemukan tempat berlabuh.
Kini aku berdiri dengan kakiku sendiri, melangkah tanpa bayangan.

Rahmi Jaerman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar